Senin, 18 Juli 2011

Apakah Aku Ditakdirkan Membujang?

konsultasi pra nikahAssalaamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
Ana seorang ikhwan yang sekarang lagi terkena virus hepatitis C yang menurut ilmu kedokteran bisa menular -biidznillah-, namun penampilan ana sehat. Kemungkinan, ana tertular lewat jarum suntik karena dulu ana sempat kecanduan narkoba. Ana sudah berusaha berobat namun belum kunjung sembuh. Tolong doakan agar Allah ta’ala memberikan kesembuhan.
Alhamdulillah, ana sudah bertobat dan mengenal manhaj salaf. Ana sekarang juga belajar di Ma’had dan sekarang ana udah ngebet banget pingin menikah. Pertanyaannya:
1) Apakah penderita penyakit menular tetap wajib menikah/tidak?
2) Kalau wajib, apakah ana harus menceritakannya kepada calon istri idaman/tidak.
3) Apakah ana berdosa jika di kemudian hari ternyata istri/anak tertular?
4) Kalau tidak boleh menikah, kasian banget ana, apakah harus hidup tabattul/membujang selamanya?
Semoga Allah ta’ala memberikan taufik kepada Ustadz agar dimudahkan untuk menjawabnya dengan sejelas-jelasnya. Jazakallahu khairan. Wassalaamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh
Hamba Allah di suatu kota
Jawab:
Semoga Allah senantiasa memberikan kepada kita taufik-Nya dalam menghadapi segala problematika kehidupan hingga kita mampu bersabar dan mengambil solusi tepat sesuai apa yang dicontohkan oleh Nabi kita.
Jikalau kita tilik di buku-buku para Ulama, niscaya kita dapatkan mereka membagi hukum menikah menjadi lima, sesuai dengan kondisi orang itu sendiri, terkadang menikah menjadi wajib, sunnah, mubah, makruh, atau malah haram.
Wajib hukumnya, bagi seorang yang sudah mampu secara finansial dan juga sangat berisiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri dari zina adalah wajib. Sehingga, menikah bagi seseorang yang hampir jatuh ke dalam jurang zina wajib hukumnya.
Sunnah hukumnya, meski dia sudah mampu, dia tidak merasa takut jatuh dalam perzinaan. Dalam kondisi seperti itu, dia tidak wajib menikah karena masih ada jarak tertentu yang menghalanginya untuk bisa jatuh ke dalam zina yang diharamkan Allah ta’ala. Namun, bila dia menikah, tentu dia akan mendapatkan keutamaan yang lebih dibandingkan dengan tidak menikah. Paling tidak, dia telah melaksanakan anjuran Rasulullah ta’ala untuk memperbanyak jumlah kuantitas umat Islam.
Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَزَوَّجُوا اَلْوَدُودَ اَلْوَلُودَ إِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اَلْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ
“Dari Anas bin Malik z bahwa Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,’Nikahilah wanita yang banyak anak, karena aku berlomba dengan nabi lain pada hari kiamat.’” (Riwayat Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
Dari Abi Umamah bahwa Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Menikahlah, karena aku berlomba dengan umat lain dalam jumlah umat. Dan janganlah kalian menjadi seperti para rahib Nasrani.” (Riwayat al-Baihaqi 7/78)
Bahkan Ibnu Abbas rodhiyallohu ‘anhuma pernah berkomentar tentang orang yang tidak mau menikah sebab orang yang tidak sempurna ibadahnya.
Makruh hukumnya, bagi orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun, bila calon istrinya rela dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah (tidak disukai). Sebab, idealnya bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami, melainkan menjadi tanggung jawab pihak suami.
Mubah hukumnya, bagi orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya.
Dan menikah itu bisa menjadi haram hukumnya bagi orang yang tidak mampu sama sekali memberi nafkah dan tidak mampu melakukan hubungan seksual, jika pihak wanita tidak rela dan menerima kondisi suaminya kelak.
Itu adalah lima hukum menikah sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama. Jikalau demikian, apakah penderita hepatitis C atau penyakit menular berbahaya lainnya, padahal dia sudah kebelet untuk nikah dan takut terjerumus dalam perzinaan, wajib menikah?
Mari kita telaah bersama…
Jikalau kita lebih teliti mencermati poin terakhir, yaitu sebab mengapa menikah itu diharamkan, niscaya kita dapatkan, sesungguhnya menikah itu diharamkan karena menimbulkan bahaya pada salah satu pasangan atau dengan kata lain ada penghalang seseorang untuk menikah. Ketika seorang istri tidak mendapatkan haknya seperti nafkah dan hubungan seksual, maka ini adalah suatu bahaya bagi istri. Oleh karena itu, menikah dengan kondisi seperti ini menjadi haram.
Demikian pula ketika seseorang mengidap sebuah penyakit yang jelas-jelas menular dan membahayakan istri maupun anaknya (setelah pemeriksaan dokter terpercaya dengan hasil yang meyakinkan secara medis), maka dia tidak berkewajiban untuk menikah, dikarenakan adanya penghalang baginya.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, “Tidak boleh menimbulkan kerugian atau bahaya bagi diri sendiri dan orang lain.” (Riwayat Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Albani rohimahulloh dalam Irwa’)
Bertolak dari hadits ini, para ulama meletakkan dua kaidah yang saling berkaitan, yaitu:
1- “Tidak boleh menimbulkan kerugian atau bahaya kepada diri sendiri ataupun orang lain.”
2- “Kerugian atau bahaya itu harus dihilangkan.”
Kaidah pertama menegaskan, kita tidak boleh membiarkan adanya kerugian atau bahaya yang akan menimpa diri sendiri maupun orang lain, dalam hal ini kita tidak boleh membiarkan orang lain tertular penyakit dari kita. Jikalau nikahnya penderita penyakit menular bisa menular ke istri maupun anaknya nantinya, maka dia tidak boleh membiarkan penyakit itu menular ke istri atau anak nantinya, yaitu dengan tidak menikahinya (jika memang tidak ada cara lain selain tidak menikahinya).
Kaidah kedua menegaskan kepada kita untuk menghilangkan kerugian atau bahaya yang sudah terlanjur terjadi. Jika seseorang menikah, kemudian setelah akad ternyata pasangannya punya penyakit menular yang berbahaya tanpa diberitahukan kepadanya sebelumnya, maka dia boleh memilih antara melangsungkan bahtera rumah tangganya atau memilih pisah.
Namun, sebelum kita mengambil kesimpulan, apakah penderita hepatitis C termasuk dalam pembahasan ini?
Kita tidak bisa memastikan bahwa penderita hepatitis C tidak berkewajiban menikah sebelum kita konsultasikan ke dokter kembali, apakah penyakit hepatitis C yang dia derita saat ini positif (sesuai penelitian dokter tanpa memastikan) bisa menular dari ibu ke bayi, ketika hubungan seksual, maupun penggunaan alat kebersihan diri (sikat gigi, handuk) secara bersama-sama?
Jika ia, maka nikah tidak menjadi wajib bagi penderita hepatitis C atau penyakit menular lainnya. Tidak wajibnya menikah bagi orang yang kondisinya seperti ini, bukan karena tidak terpenuhi syarat-syarat wajib nikah dalam dirinya, akan tetapi karena adanya penghalang untuk menikah yaitu menimbulkan kerugian atau bahaya kepada salah satu pasangan.
Namun, apakah kemudian penderita hepatitis C atau penyakit menular yang bahaya lainnya tidak boleh menikah sama sekali? Apakah dia harus membujang?
Ketika kita nyatakan bahwa penderita penyakit menular tidak berkewajiban menikah karena adanya penghalang, bukan berarti dia tidak boleh menikah sama sekali. Dia boleh menikah ketika calon istri rela, menerima kondisinya, dan dia siap menanggung risikonya. Kerelaan calon pasangan tidak mungkin diketahui kecuali dengan terus terang dan menceritakan perihal kondisinya kepada calon pasangan. Oleh karena itu, memberi tahu calon pasangan dengan aib dia adalah wajib dalam hal ini, karena di antara syarat sah nikah adalah keridhaan kedua pasangan, dan keridhaan kedua pasangan tidak mungkin diperoleh kecuali dengan menceritakan kondisi salah satu pasangan.
Di antara dalil yang menunjukkan kewajibannya adalah ketika salah satu pasangan mendapatkan aib pada diri pasangannya setelah akad, maka masing-masing dari pasangan memiliki hak memilih, memilih untuk melanjutkan bahtera rumah tangganya atau memilih pisah. Dan perpisahan antara keduanya harus dilaksanakan di hadapan hakim.
Ibnul Qayyim rohimahulloh berkata, “Semua aib yang membuat pasangan lari (benci) dan yang menghalangi mendapatkan tujuan menikah, maka kedua pasangan mendapatkan hak memilih, hak memilih dalam hal ini lebih utama daripada hak memilih dalam jual beli”.
Jakalau demikian, apakah dia boleh membujang?
Jikalau memang calon pasangan siap menerima dan segala risikonya, maka hendaklah dia menikah dengan bertawakkal kepada Allah. Karena sakit dan matinya seseorang itu di tangan Allah. Banyak di antara mereka yang divonis mengidap penyakit berbahaya, namun penyakit tersebut tidak menular dan tidak pula membahayakan.
Jika sebaliknya, calon pasangan tidak siap menerima keadaan, maka perlu diketahui bahwa membujang yang dilarang islam adalah membujang karena menentang perkawinan dengan anggapan, bahwa hidup membujang itu demi berbakti kepada Allah, padahal dia mampu kawin; atau dengan alasan supaya dapat 100% mencurahkan hidupnya untuk beribadah dan memutuskan hubungan dengan duniawinya.
Allah berfirman (yang artinya):
“Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu mengharamkan yang baik-baik dari apa yang dihalalkan Allah untuk kamu dan jangan kamu melewati batas, karena sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang melewati batas.” (al-Maidah: 87)
Adapun membujang karena ada sebab, maka semoga Allah memberi keringanan kepadanya dan dia terus berusaha mencari kesembuhan dari Allah dan berdoa meminta kepada Allah jodoh yang siap menerimanya dan menerima segala risikonya.
Jika seandainya –semoga Allah memberikan kesehatan kepadanya- penyakit tersebut menular ke istri atau anaknya, maka dia tidak berdosa setelah berusaha mencari kesembuhan dan pasangannya juga rela atas segala risikonya saat pertama kali sebelum akad. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar