Senin, 18 Juli 2011

Pacaran Islami?

Wa ‘alaikumussalam warahmatullaahi wabarakaatuh.
Alhamdulillah, ‘alaa kulli haal. Baiklah, ana akan biarkan Ukhti sendiri yang menjawab pertanyaan itu. Tapi sebelum pertanyaan itu dijawab, mari kita berdialog sedikit tentang beberapa hal yang bisa Ukhti jadikan bantuan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Pertama, definisi pacaran itu sendiri apa? Definisi pacaran itu mungkin termasuk definisi yang paling lentur, dinamis, dan cenderung plin-plan. Saat orang-orang tua kita dulu melarang anak-anak mereka pacaran, artinya duduk berduaan, bercengkerama, keluar berdua, lalu menonton. Itulah pacaran dalam definisi mereka saat itu. Kalau sebagian orang tua mengatakan kepada anaknya sekarang ini, “Jangan pacaran dulu, kamu masih kecil, lebih baik sekolah dulu..” Itu artinya, jangan membina hubungan serius sebagai sepasang kekasih. Boleh keluar, berjalan-jalan, bahkan bila perlu menonton berduaan atau ditemani yang lain, asalkan hubungannya tidak sampai pada kisah-kasih asyik masyuk, tidak membina hubungan serius yang menyita banyak perhatian, perasaan dan emosi, bahwa mereka akan menjadi suami istri kelak!!
Pada definisi kedua itulah sering muncul ungkapan, “saya sama dia hanya teman dekat aja kok.” Artinya, sekadar berduaan atau bahkan ke mana-mana berdua, belum cukup disebut sebagai implementasi dari pacaran. Harus ada nilai lebih dari hubungan dua insan berlainan jenis, baru disebut pacaran.
Di dunia yang sudah terlalu bebas, di negara-negara free sex, atau di lingkungan pergaulan muda-mudi yang tergiur budaya barat meski mereka hidup di negeri timur seperti Indonesia ini, definis pacaran menjadi semakin kabur. Hingga tahap saling berciuman saja belum bisa disebut pacaran. Just for sex, no more. Ini hanya hanya soal seks, tak lebih dari itu. Bahkan pada tahap yang sudah mengerikan, hingga terjadi perzinaan sekalipun tak bisa serta merta disebut pacaran. Makanya ada istilah one night stand, alias hubungan seks semalam saja. Hanya untuk seks, tak lebih. Wal ‘iyaadzu billaaah.
Dengan definisi-definisi pacaran yang seperti itu, dapatkan disebut sebuah pacaran itu islami? Dengan cara apa pacaran itu dapat diubah menjadi hubungan yang islami alias sesuai aturan Islam? Kita bisa jawab sendiri.
Sekarang, kita keluar dari definisi-definisi tersebut. Anggaplah bahwa pacaran itu adalah sebuah istilah yang bebas nilai. Tergantung yang melaksanakannya saja. Tapi, ketika semua definisi tersebut sudah bermuara pada satu titik: hubungan serius sebagai pra pernikahan, dapatkan sebagian dari makna definisi-definisi itu terabaikan begitu saja?
Kalau dimisalkan bisa, dan muncullah sebuah kesempatan pacaran bisa menjadi hal yang dibenarkan syariat karena dilakukan sesuai aturan syariat, bisakah kita menyebut istilah itu dengan pacaran? Seperti kita menyebut jihad sebagai pembantaian yang Islami, atau madu disebut sebagai Bir Surga misalnya, atau poligami sebagai perselingkuhan atau zina yang Islami misalnya?
Nabi –shollallohu ‘alaih wa sallam– sudah bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang meniru kelompok manusia tertentu, maka ia termasuk golongan mereka.”
Istilah pacaran sudah menjadi ciri khas budaya kaum kafir bukan? Umat islam hanya datang dan menirunya. Maka, apakah hubungan antara pria dan wanita yang dibenarkan syariat dapat dinamakan dengan nama yang menjadi sebutan dari budaya kafir yang penuh dengan maksiat itu? Mari dijawab sendiri secara hati-hati.
Baik…, mari kita keluar lebih jauh dari semua definisi itu, dengan menggunakan istilah pacaran secara mandiri, tanpa pengaruh definisi-definisi tersebut. Bagaimana kita mengubah pacaran menjadi fi sabilillah, yang akhirnya diridhai Allah dan diridhai orang tua?
Untuk dapat diridhai oleh orang tua tidaklah terlalu sulit. Asalkan pasangan kita disukai oleh orang tua, dan kita dianggap sudah layak berpacaran, semua pasti beres. Apalagi si pasangan sangat baik sikapnya terhadap orang tua, jalan akan semakin mulus. Yang menjadi masalah, tidak setiap yang diridhai oleh kedua orang tua, berarti diridhai oleh Allah!!
Orang tua ridha maka Allah ridha, orang tua marah maka Allah marah, itu tidak berlaku pada hukum. Perbuatan dosa tidak akan berubah menjadi pahala, meski orang tua menyukainya. Ibadah wajib, tak lantas berubah menjadi dosa kalau orang tua tidak menyukainya.
Kalau pertanyaannya: “Bagaimana pacaran bisa diridhai Allah?”
Pertama, ubah dulu istilah pacaran itu menjadi ta’aaruf, perkenalan, atau sejenisnya yang bersifat lebih umum. Karena saat disebut pacaran, berbagai atribut pacaran akan gampang meluncur menghiasinya.
Kedua, itu dilakukan murni untuk mengejar target menikah. Jadi tak boleh dilakukan bila belum ada niat menikah. Nabi n bersabda,
“Lihatlah terlebih dahulu (wanita) itu. Karena yang demikian itu lebih baik agar tercipta keharmonisan di antara kalian berdua.”
Dalam sabda lain, Nabi –shollallohu ‘alaih wa sallam– menegaskan, “Kalau seseorang bisa melihat pada diri wanita sesuatu yang bisa menggugahnya untuk menikahinya, lalukanlah…”
Jadi, perkenalan itu dengan tujuan untuk melihat, mengenali lebih jauh, dan mencari titik keselarasan secara fisik dan emosional, untuk bisa menjadi sepasang suami-istri. Dalam hal ini, maka proses perkenalan tak boleh terlalu lama, dan harus menghindari hal-hal yang diharamkan oleh Allah.

Adab Ta’aruf

Adapun adab-adab ta’aruf, sebagai berikut:

1. Menahan Pandangan

Allah berfirman,
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.’ Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya …’” (an-Nur: 30-31)
Yakni, mata tak boleh jelalatan melihat calon pasangan atau bagian dari tubuhnya yang menggoda selera, atau memelototi wajahnya untuk mencari kenikmatan. Melihat diperbolehkan bila untuk memastikan kecocokan saja. Artinya, setelah segala sesuatu yang lain dianggap sudah saling cocok, melihat sebagai penentunya.

2. Menutup aurat

Allah berfirman,
“… Dan janganlah mereka (wanita-wanita mukmin) menampilkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak dari pandangan dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya ….” (an-Nur: 31)
Artinya, bila harus berbicara dengan pria non mahram, seorang wanita muslimah harus menutup aurat sebatas yang dia yakini sebagai aurat, menurut dasar yang jelas. Kecuali saat nazhar dengan tujuan memastikan kecocokan secara fisik, seperti tersebut di atas. Saat itu boleh dibuka sebagian aurat, asalkan bukan untuk dinikmati, tapi sekadar memastikan kecocokan fisik saja, maka yang dilihat juga harus sangat dibatasi.

3. Tenang dan Terhormat dalam Gerak-Gerik

Allah berfirman,
“… Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (al-Ahzab: 32)

4. Serius dan Sopan dalam Berbicara

Allah berfirman,
“… Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (al-Ahzab: 32)

5. Hindari Membicarakan Hal-hal yang Tidak Perlu

Allah berfirman,
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna…” (al-Mukminun : 1-3)
Selanjutnya, proses pertemuan harus ditemani oleh mahram, karena berduaan antara pria dan wanita yang belum menikah adalah haram, sebagaimana yang kita ketahui bersama.
Terakhir, ingatlah Allah saat sedang berhadapan dengan calon pasangan. Lupa sekejap saja, setan akan hingga menyerta.(***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar