Senin, 18 Juli 2011

Wasiat Ibu Yang Terlewat

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ustadz, ana mau bertanya, sebelumnya saya minta maaf hanya bisa lewat SMS. Saya sedang bimbang, ibu saya sudah meninggal dan kemarin seratus harinya. Ternyata ada amanah yang belum saya tahu. Kemarin saya tahu amanah itu, tapi berat bagi saya menjalankan amanah itu. Ada seorang laki-laki yang baik yang bisa ngertiin ibu saya, tapi sayang dia sudah beristri.
Jujur saya sendiri pernah ada rasa, jauh sebelum dia menikah. Saya anak terakhir dari empat saudara. Kakak-kakak saya tak pernah mengerti saya. Hari-hari terakhir ibu, beliau ingin bertemu dengan orang itu, tapi saya cegah karena istrinya seperti itu.
Ternyata sebelum meninggal, ibu minta agar orang itu menjagaku dalam pengertian menjadi istrinya, sementara orang itu sudah beristri dan punya seorang anak. Apakah saya jadi anak durhaka bila saya tidak menjalankan amanah itu? Jazakallahu khairan. Saya ingin jawabannya.
Jawaban:
Waalaikumussalam Warahmatullahi Wabarakaatuh
Alhamdulillah, Saudari sempat menjumpai ibu sebelum meninggalnya, semoga itu bisa menjadi ladang pahala bagi Saudari. Namun perlu kami garis bawahi pada saat ibu meninggal, bahwa segala ibadah itu harus ada tuntunan dari Allah dan Rasul-Nya. Acara 100 hari, 40 hari, 7 hari, dan seterusnya demi memperingati hari kematian. Sekali lagi, itu tidak dituntunkan oleh Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam -, sehingga perbuatan tersebut masuk kategori yang diharamkan.
Selanjutnya, dalam permasalahan Saudari mengenai amanah ibu, jika amanah ibu Saudari tidak ditujukan kepada Saudari secara langsung, tetapi merupakan permintaan ibu Saudari kepada si fulan. Maka bagi si fulan berhak memilih, apakah dia akan melaksanakannya atau tidak itu tergantung madharat dan maslahat yang berkaitan dengan dirinya dan siapa saja yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan tersebut.
Adapun Saudari, karena dalam hal itu tidak diperintah secara langsung, Saudari boleh menerima lamaran fulan (kalau dia melamar Anda) dan juga boleh menolaknya.
Adapun jika amanah ibu itu ditujukan kepada Saudari (dengan kata lain: ibu memerintahkan Saudari untuk menikah dengan si fulan), maka dalam masalah ini (nikah), Saudari punya hak untuk menawar berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas – rodhiyallohu ‘anhu -,
أَنَّ جَارِيَةً بِكْرًا أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ كَارِهَةٌ فَخَيَّرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Bahwasanya ada seorang gadis (dewasa) menghadap kepada Rasulullah (mengadu) dan dia menyatakan bahwa ayahnya telah menikahkannya sedangkan dia terpaksa (tidak ridha dengan laki-laki pilihan ayahnya). Maka Rasulullah memberikan pilihan kepadanya (untuk tetap menikah atau membatalkan pernikahan)” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah secara mursal dan diriwayatkan dari jalan Abu Ayyub bin Suwaid secara maushul (tersambung sanad-nya). Demikian juga dalam riwayat Ma’mar bin Salman ar-Raqi)
Para ulama menyimpulkan bahwa hadits ini menunjukkan bahwa wanita dewasa (gadis maupun janda) tidak boleh dipaksa menikah. Dia hanya dinikahkan jika dia ridha. Adapun wanita yang belum dewasa, maka ayahnya berhak menikahkannya dengan laki-laki yang sepadan dengannya (kufu’), baik dia ridha atau tidak.
Dan dalil bahwa wanita dewasa tidak boleh dipaksa menikah tanpa ridha adalah hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasai dari Aisyah (yang akan disebutkan di belakang). Sedangkan dalil bahwa gadis kecil (di bawah usia 9 tahun) boleh dinikahkan oleh walinya (ayahnya) tanpa sepengetahuan/keridhaannya adalah pernikahan Aisyah dan Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – (saat itu Aisyah berumur 6 tahun).
Syekh Muhammad bin Ibrahim – rohimahulloh – mengemukakan, “Sudah maklum bahwa salah satu syarat nikah adalah ridha kedua belah pihak. Meskipun calon pengantin wanita adalah gadis, maka ayahnya tidak berhak memaksanya (kalau gadis tersebut telah dewasa). Dalil-dalil masalah ini sangat jelas. Dan inilah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim – rohimahulloh -.”
Sedangkan Syekh Abdur Rahman as-Sa’di – rohimahulloh – menyatakan: “Pendapat yang shahih bahwa seorang ayah tidak berhak memaksa anak gadisnya yang dewasa dan sehat akalnya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak dia ridhai. Karena seandainya seorang gadis tadi tidak boleh dipaksa untuk menjual sesuatu dari harta yang dia miliki, maka gadis tersebut lebih tidak layak untuk dipaksa menikah. Karena madharat dari terpaksa menikah lebih besar dari pada madharat harta. Dan hadits-hadits dalam masalah ini sudah sangat masyhur”.
Imam ash-Shan’ani – rohimahulloh – mengemukakan bahwa ‘illah (alasan) bolehnya seorang gadis yang dipaksa menikah untuk membatalkan pernikahannya adalah “keterpaksaan/tidak ridha”. Karena illah inilah yang tertuang (ter-nash) dalam redaksi hadits. Sehingga dapat dipahami bahwa seakan-akan Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bersabda,
“Jika ananda terpaksa/tidak ridha, maka ananda berhak memilih (tetap menikah atau membatalkan pernikahan”.
Dan hal ini juga dikuatkan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasai dari Aisyah bahwasanya ada seorang gadis mengunjunginya dan berkata bahwa ayahnya telah menikahkannya dengan sepupunya (anak paman) dengan tujuan menjadikanku sebagai perantara untuk meninggikan derajatnya dan si gadis sebenarnya terpaksa. Maka Aisyah berkata, “Duduklah sampai Rasulullah datang. Ketika Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – datang, maka Aisyah menceritakan hal itu kepada beliau, maka Rasulullah pun mengirim utusan untuk memanggil ayah si gadis dan menyerahkan keputusan kepada si gadis. Maka gadis itu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah ridha dengan apa yang dilakukan ayahku (menikahkanku dengan sepupuku). Akan tetapi, aku hanya ingin memberitahu kepada seluruh wanita bahwa orangtua tidak punya hak dalam masalah ini.”
Dari kisah ini, bisa disimpulkan bahwa si gadis mengucapkan kalimat ini di hadapan Nabi, sehingga diamnya Nabi adalah taqrir (hukum tersebut disahkan dalam syariat) ucapan si gadis. Dan yang dimaksud ketidakberhakan orangtua dalam masalah ini adalah tidak berhak memaksa, karena konteks pembicaraan adalah dalam hal keterpaksaan gadis dalam menikah.
Dari kedua hadits tersebut merupakan dalil bahwa jika akad nikah belum dilaksanakan, maka pernikahan wajib dibatalkan (melalui keputusan dari pemerintah atau departemen yang mewakilinya (KUA). Dan jika akad nikah telah dilaksanakan, maka istri boleh mengajukan faskh (pemutusan ikatan pernikahan) kepada pemerintah (KUA), sebagaimana yang dilalukan oleh istri Tsabit bin Qais, dia menghadap Nabi dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak mencela Tsabit bin Qais dari sisi akhlak maupun agamanya, akan tetapi aku khawatir terjerumus dalam kekufuran dalam Islam.” Maka Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bersabda, “Maukah engkau mengembalikan kebunnya (mahar yang dia berikan kepadamu)?” dia berkata, “Ya”. Kemudian Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bersabda (kepada Tsabit), “Terimalah kebunmu dan talaklah dia dengan satu talak” (Riwayat Al-Bukhari)
Perlu diingat, bahwa dalam masalah pernikahan, yang berhak menikahkan seorang wanita adalah walinya. Dan merupakan kesepakatan seluruh ulama bahwa salah satu syarat menjadi wali adalah laki-laki. Namun dalam permasalahan Saudari, yang memerintahkan untuk menikah adalah ibu. Meskipun seorang ibu memiliki kedudukan yang sangat agung bagi anak dalam syariat Islam, dia tidak bisa menjadi wali untuk menikahkan putrinya, dalam kondisi apapun, apalagi memaksanya menikah dengan seorang laki-laki tertentu.
Hal ini juga didasarkan pada kewajiban wali (ayah) untuk meminta izin kepada anak gadisnya ketika akan menikahkannya. Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bersabda,
“Dan seorang gadis tidak dinikahkan, sampai ia dimintai izin” (Muttafaq ‘alaih).
Meminta izin kepada seorang gadis tidak cukup hanya memberitahunya bahwa dia akan dinikahkan dengan si fulan. Akan tetapi, yang bersangkutan harus menerangkan kepadanya siapa si fulan tersebut, namanya, fisiknya, kekayaannya, nasab-nya, pekerjaannya, baik buruk agamanya, dan lain-lain. Sehingga, si gadis memiliki gambaran tentang si fulan dan dia memiliki pertimbangan apakah dia akan menyetujui pernikahannya ataukah akan menolaknya.
Berdasarkan paparan hadits-hadits tersebut, seorang wanita dewasa tidak dianggap durhaka ketika menolak untuk menikah dengan laki-laki yang tidak dia sukai, sebagaimana dia tidak dianggap durhaka ketika menolak memakan suatu makanan yang tidak dia sukai. (Syaikhul Islam menyebutkan bahwa anak laki-laki tidak durhaka ketika tidak taat pada ayahnya yang memaksanya untuk menikah dengan wanita yang tidak dia sukai). Wallahu a’lam bisshawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar